Jumat, 13 Februari 2015

Pura Pura

Berpura-pura itu sakit. Pura-pura ketawa, pura-pura seneng, pura-pura senyum, pura-pura nyaman, pura-pura berdamai dengan keadaan.

Karna berpura-pura adalah bentuk kebohongan untuk menutupi sesuatu yang miris.

Contoh kecil, pura-pura ketawa, kenapa kita pura-pura ketawa? Karna kita ngga ingin ketawa, dan kita menghargai si pelempar jokes, yang mana jokes itu ngga lucu. Kita ngga tega diemin dia gitu aja, makanya kita pura-pura ketawa. Karna kita tau, ngga lucu itu miris.

Pura-pura seneng, menurut gue pura-pura seneng adalah bentuk penolakan, karna kita ga tega untuk menolak suatu pemberian, makanya kita terima dan berpura-pura seneng sama hal itu, yang mana itu kita lakukan karna kita tau, ditolak itu adalah hal yang miris.

Pura-pura senyum adalah tindakan pahit dari sebuah hal pahit, yang mana kita ngga bisa terima hal itu, tapi kita tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubah. Kita semua tahu itu, kita tahu bahwa ketidak berdayaan itu miris.

Pura-pura nyaman adalah kebohongan paling besar, karna kenyamanan itu murni, tidak bisa dibuat-buat. Dimana kalo kita merasa nyaman, itu karna benar nyaman. Dan ketika kita tidak merasa nyaman, itu adalah karna hati kita berkata begitu. Orang yang pura-pura nyaman adalah orang yang tidak bisa menemukan kenyamanan, dan itu miris.

Pura-pura berdamai dengan keadaan, titik terbingung manusia yang mana di titik ini seseorang sudah tidak bisa mendengar lagi kata hatinya, karna termakan sugesti untuk berdamai. Ia sudah tidak bebas berekspresi, tidak bebas marah, tidak mampu untuk mendendam, sementara hatinya luka. Manusia itu boleh marah, manusia itu boleh menangis, manusia itu boleh bersedih, karna hidup tidak melulu tentang tertawa. Dan pura-pura berdamai dengan keadaan itu siksaan karna kita tidak bisa menjadi apa kita sebenarnya, kita hanya menjadi bayang-bayang kedamaian, bukan damai yang hakiki.
Dan gue adalah "si pura-pura". Itu miris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar