Berpura-pura itu sakit. Pura-pura
ketawa, pura-pura seneng, pura-pura senyum, pura-pura nyaman, pura-pura
berdamai dengan keadaan.
Karna berpura-pura adalah bentuk kebohongan untuk
menutupi sesuatu yang miris.
Contoh kecil, pura-pura ketawa, kenapa kita pura-pura
ketawa? Karna kita ngga ingin ketawa, dan kita menghargai si pelempar jokes,
yang mana jokes itu ngga lucu. Kita ngga tega diemin dia gitu aja, makanya kita
pura-pura ketawa. Karna kita tau, ngga lucu itu miris.
Pura-pura seneng, menurut gue pura-pura seneng adalah
bentuk penolakan, karna kita ga tega untuk menolak suatu pemberian, makanya
kita terima dan berpura-pura seneng sama hal itu, yang mana itu kita lakukan
karna kita tau, ditolak itu adalah hal yang miris.
Pura-pura senyum adalah tindakan pahit dari sebuah hal
pahit, yang mana kita ngga bisa terima hal itu, tapi kita tidak bisa melakukan
apa-apa untuk mengubah. Kita semua tahu itu, kita tahu bahwa ketidak berdayaan
itu miris.
Pura-pura nyaman adalah kebohongan paling besar, karna
kenyamanan itu murni, tidak bisa dibuat-buat. Dimana kalo kita merasa nyaman,
itu karna benar nyaman. Dan ketika kita tidak merasa nyaman, itu adalah karna
hati kita berkata begitu. Orang yang pura-pura nyaman adalah orang yang tidak
bisa menemukan kenyamanan, dan itu miris.
Pura-pura berdamai dengan keadaan, titik terbingung
manusia yang mana di titik ini seseorang sudah tidak bisa mendengar lagi kata
hatinya, karna termakan sugesti untuk berdamai. Ia sudah tidak bebas
berekspresi, tidak bebas marah, tidak mampu untuk mendendam, sementara hatinya
luka. Manusia itu boleh marah, manusia itu boleh menangis, manusia itu boleh
bersedih, karna hidup tidak melulu tentang tertawa. Dan pura-pura berdamai
dengan keadaan itu siksaan karna kita tidak bisa menjadi apa kita sebenarnya,
kita hanya menjadi bayang-bayang kedamaian, bukan damai yang hakiki.
Dan gue adalah "si
pura-pura". Itu miris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar